Jumat, 03 Juni 2011

badak bercula satu

Rhinoceros (Rhinoceros sondaicus) adalah binatang terbesar di Jawa. Beratnya bisa mencapai 1,5 ton, berkulit pucat. Badak Jawa pernah tersebar di hampir seluruh wilayah gunung di Jawa Barat, seperti gunung Gede-Pangrango, Gunung salak, Gn. Tangkuban Perahu dan gunun Ciremei.
Nama sebutan Badak Jawa agaknya kurang tepat karena distribusi alaminya, sejauh yang bisa dipastikan, pernah mencapai kawasan Sungai Brahmaputra di Bangladesh sampai Vietnam serta ke sebelah barat daya Cina, dan deskripsi badak pertama berasal dari spesimen yang ditemukan di Sumatera. Distribusi aslinya secara menyeluruh tidak akan pernah dapat diketahui, karena pada suatu waktu yang berbeda dan pada suatu tempat yang berbeda badak Jawa ini pernah dikacaukan dengan badak Sumatera Dicerorhinus sumatrensis dan badak India/bercula satu Rhinoceros unicornis. 
Dulu badak ini hanya dikenal dan bagian selatan Jawa Barat dan dari Gn. Slamet di Jawa Tengah, meskipun fosil yang masih ada ditemukan di sebelah utara Yogyakarta. Ketika Junghuhn mendaki Gn. Pangrango pada tahun 1839 (pendakian pertama yang tercatat dilakukan oleh orang Eropa) ia mengejutkan dua badak Jawa di dekat puncak gunung, seekor sedang berendam di suatu sungai kecil dan yang lain sedang merumput di pinggir sungai (Junghuhn 1854). Beberapa jalan setapak di beberapa gunung mengikuti bekas jejak badak, dan jalur-jalur di gunung-gunung yang ada dijawa mungkin merupakan sisa terakhir dari kehadiran binatang besar ini. 
Dua belas ekor badak Jawa terakhir yang terdapat di Sumatera telah ditembak oleh pemburu-pemburu Belanda antara tahun 1925-1930, dan setelah itu seekor lagi ditembak di Karangnunggal (Tasikmalaya) pada tahun 1934.
Sampai akhir abad ke-19 penduduk kota Bandung masih bisa menyaksikan adanya badak jawa, mereka menyebutnya badak priangan. Tidak mengherankan bila di Bandung ada daerah yang bernama Rancabadak. Namun pada tahun 1895 seorang pemburu Belanda menembak mati badak jawa tidak jauh dari kota Bandung, itulah badak jawa terakhir di kota Bandung.
Orang percaya bahwa sisa populasi badak Jawa sekarang hanya ada di Taman Nasional Ujung Kulon, tempat keberadaannya pertama dilaporkan pada tahun 1861. Meskipun demikian, pada tahun 1989, sepuluh ekor badak jawa ditemukan bertahan hidup di sepanjang sungai Dong Nai di bagian selatan Vietnam.
Badak Jawa adalah pemakan tunas dan rerumputan. Badak memakan daun-daun muda, tunas-tunas dan ranting-ranting yang tumbuh di permukaan tanah. Jika makanan ini tidak dapat dijangkau karena terlalu tinggi, maka badak akan berusaha mematahkan batangnya dengan cara menabrakkan dirinya pada batang tersebut, atau dengan cara menghancurkan batang dengan giginya.
Ada lebih dari 150 jenis tumbuhan yang diidentifikasi sebagai makanan badak, dan kemungkinan besar semua jenis tumbuhan tersebut yang dapat dicapai dan ukurannya sesuai akan dimakan. Badak memakan makanannya di berbagai tipe vegetasi, meskipun kebanyakan dilakukan di tempat-tempat yang tidak terlindung, misalnya, di antara pepohonan yang roboh atau di padang semak-belukar tanpa pepohonan. 

Badak jawa memiliki satu cula yang terletak di ujung hidungnya. Indra penciuman dan pendengarannya sangat tajam, tetapi badak jawa memiliki penglihatan yang kurang baik (rabun dekat). Badak Jawa melahirkan setiap 3-5 tahun sekali. Lama mengandung 16 bulan, umumnya melahirkan satu ekor anak saja dan dipelihara induknya hingga umur 2 tahun, setelah dewasa anak tersebut meninggalkan induknya. Usia badak jawa bisa mencapai hingga 50 tahun.
Keragaman makanan badak mungkin merupakan tanggapan terhadap kebutuhan untuk membatasi atau mencegah racun yang masuk, memaksimalkan kandungan mineral tertentu, serta menanggulangi kesulitan-kesulitan yang disebabkan oleh keragaman musim. Karena hampir semua catatan tanaman pangan berasal dari observasi tidak langsung, maka sangat relevan untuk memperhatikan bahwa kerusakan pada batang-batang pohon yang umum dilakukan oleh badak dapat juga disebabkan oleh banteng dan rusa.
Badak adalah salah satu mamalia purba yang masih hidup. Nenek moyang badak jawa Baluchitherium, telah hidup 50 juta tahun yang lalu, sejak jaman Erasia. Badak Jawa masih satu kerabat dengan kuda dan keledai, yakni hewan yang memiliki kuku ganjil.
Cula badak adalah evolusi dari rambut badak yang bersatu dan mengeras. Sejak jaman dahulu manusia memburu badak hanya untuk mendapatkan culanya. Konon cula badak dijadikan ramuan obat-obatan atau jadi barang kerajinan seni berharga.
Ada 5 jenis badak yang ada di bumi yakni:
1. Badak afrika putih
2. Badak afrika hitam
3. Badak india
4. Badak sumatra
5. Badak jawa
Badak Sumatera memiliki dua buah cula yang bisa mencapai panjang 80cm di bagian depan  dan 20 cm di bagian belakang. Tinggi badan 140 cm dan panjang mencapai 3 meter. Badak Sumatera dapat dijumpai di pulau Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) atau sering juga disebut badak kerbau. Badak ini (Dicerprhinus harrissoni) juga dapat ditemukan di kawasan hutan di Kalimantan timur.
Badak india (Rhinoceros unicornis) memiliki satu cula yang panjangnya mencapai 60 cm. Tinggi badan 170 cm, dan panjang 3,8 meter. Badak ini hidup di anak benua bagian selatan.
Badak afrika putih (Cerathotherium simum) adalah badak paling besar dengan tinggi badan 1,8 meter dan panjangnya bisa mencapai 5 meter, memiliki dua buah cula. Cula depan bisa mencapai 137 cm panjangnya dan cula kedua panjangnya bisa mencapai 60 cm.
Badak afrika hitam atau Dicerros bicornis tingginya bisa mencapai 1,6 meter dan panjangnya 4 meter. Memiliki dua buah cula yang panjuangnya bisa mencapai 70cm di depan dan 50 cm di belakang.
Badak jawa (Rhinoceros sondaicus) adalah jenis badak yang paling kecil dengan tinggi badan 140 cm, dan panjangnya 3 meter. Memiliki satu cula dengan panjang mencapai 30 cm.
The main factor in the continued decline of the Javan Rhinoceros population has been poaching for horns, a problem that affects all rhino species. The horns have been a traded commodity in China for over 2,000 years where they are believed to have healing properties in Traditional Chinese Medicine. Historically, its hide was used to make armor for Chinese soldiers and some local tribes in Vietnam believed the hide can be used to make an antidote for snake venom. Because the rhinoceros's range encompasses many areas of poverty, it has been difficult to convince local people not to kill a seemingly useless animal which could be sold for a large sum of money. When the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora first went into effect in 1975, the Javan Rhinoceros was placed under complete Appendix 1 protection: all international trade in the Javan Rhinoceros and products derived from it is illegal.[28] Surveys of the rhinoceros horn black market have determined that Asian rhinoceros horn fetches a price as high as $30,000 per kilogram, three times the value of African rhinoceros horn. A painting from 1861 depicts the hunting of Rhinoceros sondaicus sondaicus
Loss of habitat because of agriculture has also contributed to its decline, though this is no longer as significant a factor because the rhinoceros only lives in two nationally protected parks. Deteriorating habitats have hindered the recovery of rhino populations that fell victim to poaching. Even with all the conservation efforts, the prospects for the Javan Rhinoceros's survival are grim. Because the populations are restricted to two small areas, they are very susceptible to disease and the problems of inbreeding. Conservation geneticists estimate that a population of 100 rhinos would be needed to preserve the genetic diversity of this conservation reliant species.
The Ujung Kulon peninsula was devastated by the eruption of Krakatoa in 1883. The Javan Rhinoceros recolonized the peninsula after the explosion, but humans never returned in large numbers, thus creating a haven. In 1931, as the Javan Rhinoceros was on the brink of extinction in Sumatra, the government of the Dutch Indies declared the rhino a legally protected species, which it has remained ever since. In 1967 when a census was first conducted of the rhinos in Ujung Kulon, only 25 animals were recorded. By 1980 that population had doubled, and has remained steady at about 50 ever since.
Although the rhinos in Ujung Kulon have no natural predators, they have to compete for scarce resources with wild cattle which may keep the rhino's numbers below the peninsula's carrying capacity. Ujung Kulon is managed by the Indonesian Ministry of Forestry. Evidence of at least four baby rhinos was discovered in 2006, the most ever documented for the species. In March 2011, hidden-camera video was published showing adults and juveniles, indicating recent matings and breeding.
A Javan Rhinoceros has not been exhibited in zoos in a century. In the 19th century, at least four rhinos were exhibited in Adelaide, Calcutta and London. A total of at least 22 Javan Rhinos have been documented as having been kept in captivity, and it is possible that the number is greater as the species was sometimes confused with the Indian Rhinoceros. The Javan Rhinoceros never fared well in captivity: the oldest lived to be 20, about half the age the rhinos will reach in the wild. The last captive Javan Rhino died at the Adelaide Zoo in Australia in 1907 where the species was so little known that it had been exhibited as an Indian Rhinoceros. Because a lengthy and expensive program in the 1980s and 1990s to breed the Sumatran Rhinoceros (Dicerorhinus sumatrensis) in zoos failed badly, attempts to preserve the Javan species in zoos are unlikely.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar